Bagaspati: Pasca-Pilkada 2024, isu mengenai kemungkinan penempatan Polri di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali mencuat dan memicu perdebatan. Menurut Pakar Hukum, Slamet Pribadi, ide tersebut tidak hanya salah secara hukum, tetapi juga merusak nilai reformasi yang diperjuangkan sejak 1998.
“Pemilu adalah proses demokrasi, sebuah kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin dengan kebebasan. Namun, ketika hasilnya tidak sesuai harapan, beberapa elit politik malah mengemukakan wacana yang emosional yang bisa membahayakan persatuan bangsa,” kata Slamet Pribadi dalam keterangannya pada Rabu, 4 Desember 2024.
Sejarah Pemisahan Polri dan TNI
Slamet menekankan bahwa pemisahan Polri dari TNI bukan keputusan yang diambil sembarangan, melainkan hasil dari proses panjang yang melibatkan sejumlah presiden, mulai dari Soeharto hingga Megawati Soekarnoputri. Reformasi ini bertujuan untuk memperkuat profesionalisme kedua lembaga negara tersebut, dan diatur dalam berbagai produk hukum, seperti:
- Inpres No. 2 Tahun 1999, yang mengatur pemisahan Polri dari ABRI
- Kepres No. 89 Tahun 2000, yang menetapkan kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Tap MPR No. VI/MPR/2000 dan Tap MPR No. VII/MPR/2000, yang menegaskan peran masing-masing Polri dan TNI
- UU No. 2 Tahun 2002, yang mengatur independensi Polri
“Pemisahan ini adalah hasil dari perjuangan reformasi untuk memperkuat demokrasi. Mengembalikan Polri di bawah TNI atau Kemendagri berarti mengkhianati amanah reformasi tersebut,” tegas Slamet.
Narasi Politik yang Berbahaya
Menurut Slamet, gagasan reposisi Polri ini muncul akibat narasi emosional dari kekalahan politik. Beberapa elite politik menuduh Polri mendukung calon tertentu, yang kemudian memunculkan seruan untuk mengubah struktur Polri.
“Framing semacam ini hanya mencerminkan ketidakdewasaan politik. Menjadikan institusi negara sebagai korban kekalahan politik adalah langkah berbahaya dan tidak berdasar hukum,” tambahnya.
Penolakan dari Berbagai Pihak
Mayoritas fraksi di DPR, Menteri Dalam Negeri, dan masyarakat luas menolak gagasan reposisi Polri ini. Dari delapan fraksi di DPR, tujuh di antaranya secara tegas menolak usulan tersebut. Slamet menambahkan bahwa masyarakat semakin bijak dalam memilah narasi politik.
“Masyarakat kini bisa membedakan antara kritik yang konstruktif dan ungkapan kekecewaan semata. Jika wacana ini dibiarkan, potensi perpecahan bangsa akan semakin besar,” lanjutnya.
Slamet mengingatkan pentingnya menjaga profesionalisme Polri dan menghormati semangat reformasi. “Mengelola negara bukanlah soal membalikkan keputusan reformasi karena emosi politik sesaat. Kita harus menghargai perjuangan panjang yang telah melibatkan banyak presiden dan masyarakat,” tutup Slamet.
Wacana reposisi Polri diharapkan tidak berkembang menjadi spekulasi lebih lanjut. Pendidikan politik yang baik, diskusi sehat, dan penghormatan terhadap reformasi menjadi kunci untuk menjaga demokrasi sesuai dengan amanah rakyat.